Nama besar
KH. A. Wahid Hasyim (1 Juni 1914 – 19 April 1953) tidak hanya diakui oleh
kalangan nahdliyyin, tapi juga oleh kalangan pendidikan, politikus dan kelompok
nasionalis di negeri ini. Wafat di usia masih muda (39 tahun) tetapi telah
memberikan karya yang luar biasa bagi bangsa dan negara.
KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi
yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama sekali karena pidatonya selalu
didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku.
Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena
KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci
utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.
Semenjak tahun 1939 (Usia 25
tahun) KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam
A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad,
Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian
duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia),
sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).
Para anggota MIAI adalah
tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.Sukiman,
Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad
Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH
A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.
Akan tetapi tatkala zaman
pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid
Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” (Masyumi).
Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa,
dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah
”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian
beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.
Selama zaman kependudukan Jepang
KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentral di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid
Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala
Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara
Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka
terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang
susunannya terdiri dari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar
Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua.
Oleh karena KH Hasyim Asy’ari
tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua
sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang menjelma
menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945) Taktik politik
yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah, mengambil unsur
kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.
”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab
bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman
Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah
berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada
bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim, dijadikan pupuk keyakinan bagi
rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur’an segalayang batil pasti akan sirna,
kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang.
Masa perang kemerdekaan antara
tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak
revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan
pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia
dan kemelut politik yang penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid
Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.
Wafat dalam usia belum genap 40
tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik
dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah
akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul Wahid hasyim hanya
ada satu dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya
harum tidak pernah akan mati.
Sumber: http://serbasejarah.wordpress.com
Nama besar
KH. A. Wahid Hasyim (1 Juni 1914 – 19 April 1953) tidak hanya diakui oleh
kalangan nahdliyyin, tapi juga oleh kalangan pendidikan, politikus dan kelompok
nasionalis di negeri ini. Wafat di usia masih muda (39 tahun) tetapi telah
memberikan karya yang luar biasa bagi bangsa dan negara.
KH A. Wahid Hasyim adalah pribadi
yang cerdas dan lihai dalam berpidato.Terutama sekali karena pidatonya selalu
didukung dan dilengkapi dengan tema-tema yang disitir dari salah berbagai buku.
Tentu tiada kesulitan bagi KH A. Wahid Hasyim untuk mencari referensi, karena
KH A. Wahid Hasyim menguasai bahasa Arab, Belanda dan Inggris sebagai kunci
utama dalam penguasaan buku-buku ilmiah saat itu.
Semenjak tahun 1939 (Usia 25
tahun) KH. A Wahid Hasyim dipercaya menjabat sebagai Ketua MIAI (Majelis Islam
A’la Indonesia), sebuah badan federasi NU, Muhammadiyah, PSII, PII, Al-Irsyad,
Persis. Sehubungan dengan jabatannya di MIAI, KH A.Wahid Hasyim juga kemudian
duduk pula dalam kepemimpinan Presidium Korindo (Kongres rakyat Indonesia),
sebuah proyek perjuangan bersama GAPI (Gabungan Partai Politik Indonesia).
Para anggota MIAI adalah
tokoh-tokoh top Indonesia seperti Abikusno Cokrosuyoso, Dr.Sukiman,
Wondoamiseno, KH Mas Mansur, KH Abdul Kahar Muzakkir, Umar Habaisy, Muhammad
Natsir, dan lain-lain. Kedudukan Ketua MIAI ini dengan sendirinya menempatkan KH
A.Wahid Hasyim sebagai pejuang politik menghadapi penjajahan.
Akan tetapi tatkala zaman
pendudukan Jepang, kelompok MIAI bubar. Kemudian atas prakarsa KH A. Wahid
Hasyim MIAI menjelma menjadi ”Majelis Syuro Muslimin Indonesia” (Masyumi).
Melalui Masyumi ini, terbentukalah badan Pusat latihan Hizbullah di Cibarusa,
dekat Cibinong Bogor, Sekolah Tinggi Islam di Jakarta dan penerbitan Majalah
”Suara Muslimin” yang mula-mula dipimpin oleh KH Saifuddin Zuhri dan kemudian
beralih ke tangan Harsono Cokroaminoto.
Selama zaman kependudukan Jepang
KH A. Wahid Hasyim merupakan tokoh sentral di kalangan Umat Islam. KH A. Wahid
Hasyim juga menjabat sebagai anggota Chuuo Sangi In yakni semacam DPR ala
Jepang. Dengan jabatan tersebut KH A. Wahid Hasyim dapat menyakinkan tentara
Jepang untuk mendirikan sebuah badan yang menghimpun kalangan ulama. Maka
terbentuklah Badan yang bernama Shumubu, yaitu Badan Urusan Agama Islam yang
susunannya terdiri dari: KH. Hasyim Asy’ari selaku Ketua, KH. Abdul Kahar
Muzakir selaku Wakil Ketua dan KH A. Wahid Hasyim selaku Wakil Ketua.
Oleh karena KH Hasyim Asy’ari
tidak dapat aktif karena memangku Pesantren Tebuireng, maka jabatan ketua
sehari-hari dipegang oleh KH A. Wahid Hasyim. Badan inilah yang menjelma
menjadi Departemen Agama (setelah proklamasi 17 Agustus 1945) Taktik politik
yang dijalani KH A Wahid Hasyim di zaman Jepang ialah, mengambil unsur
kekuasaan Jepang yang Positif bagi perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia.
”Kerja sama” dengan Jepang (pada tingkatan pertama) dipandang perlu sebab
bangsa Indonesia yang tidak mempunyai kekuatan politik (kekuasaan ) di zaman
Belanda tidak akan sanggup menghadapi kekuatan Militer Jepang yang tengah
berada di puncak kemenangan. Kezaliman-kezaliman pemerintahan Jepang kepada
bangsa Indonesia, oleh KH A. Wahid Hasyim, dijadikan pupuk keyakinan bagi
rakyat, bahwa sesuai dengan Al-Qur’an segalayang batil pasti akan sirna,
kezaliman tak pernah mengalami kemenangan yang panjang.
Masa perang kemerdekaan antara
tahun 1945-1950 menyebabkan KH A. Wahid Hasyim menyibukakan diri dalam gejolak
revolusi. Meskipun sebagian besar waktunya dicurahkan kepada soal politik dan
pertahanan, seperti dua kali menghadapi agresi Belanda atas Republik Indonesia
dan kemelut politik yang penuh pertentangan di masyarakat, namun KH A.Wahid
Hasyim tetap menjalin hubungan erat dengan para ulama dan dunia pesantren.
Wafat dalam usia belum genap 40
tahun menyebabkan dunia Ulama dan Pesantren menjerit dan meratap. Kaum politik
dan masyarakat baik tua maupun muda merasa kehilangan yang besar. Yang patah
akan tumbuh akan tetapi bukan lagi A. Wahid Hasyim. Abdul Wahid hasyim hanya
ada satu dalam sejarah ummat manuasia. Namun sekalipun sudah wafat, namanya
harum tidak pernah akan mati.
Sumber: http://serbasejarah.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar